Harapan Petani Pribumi di Balik Kota Tembakau

Oleh: Charissa Hanindya Utami

Jember, Jawa Timur adalah penyandang Kota dengan berbagai icon. Mulai dari Kota Tembakau, Kota JFC (Jember Fashion Carnaval) dan juga Kota Santri. Tidak heran jika kota ini mendapat berbagai julukan, karena memang kota Jember memiliki banyak keragaman dan kekhasan tersendiri. Namun identitas ini tidak serta merta diberikan, ada berbagai sejarah dan perjalanan. Seperti Kota Jember yang ditetapkan sebagai Kota Karnaval setelah Jember Fashion Carnaval berjalan 15 tahun dan pada akhirnya di tahun ke-16, Kementerian Pariwisata menetapkan Jember sebagai kota karnaval pertama di Indonesia. Hal itu juga ada pada sejarah Kota Tembakau. Di Indonesia, salah satu daerah yang menggantungkan hidup dari tembakau adalah Jember.

Usaha tembakau yang sejak dulu terbentuk ternyata semakin maju dan membuat pertumbuhan ekonomi masyarakat tembakau menjadi pesat. Hal ini juga yang melatarbelakangi mengapa Jember diklaim sebagai Kota Tembakau. Bagi Indonesia tembakau memiliki tempat tersendiri, tembakau menjadi sumbangan utama industri dalam perekonomian nasional dan jutaan tenaga kerja Indonesia menggantungkan hidupnya lewat tembakau.

Dewasa ini, masyarakat tembakau yang dikategorikan sebagai petani, buruh dan pekerja pabrik mengalami keterpurukan. Melihat kondisi riil ekonomi, rakyat hari ini khususnya petani tembakau dibenturkan dengan berbagai keadaan. Pandemi menjadi salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap menurunnya tingkat ekonomi masyarakat. Hal lain seperti cuaca yang tidak mendukung juga memberi pengaruh besar karena mengingat tanaman tembakau termasuk tanaman yang sulit hidup karena membutuhkan cuaca panas.

Belum lagi masalah kenaikan cukai yang menyebabkan pihak pabrikan menekan harga tembakau dan pada akhirnya harga tembakau yang ditawarkan bernilai rendah. Hal ini jelas merugikan para petani. Permainan harga juga turut andil dari pembeli (tengkulak) kepada petani juga semakin membuat miris. Kasus seperti tengkulak yang memberi harga rendah seluruhnya tidak menutup biaya yang dikeluarkan. Memberikan solusi terhadap permasalahan tengkulak, pengepul atau semacamnya dengan menghadapkan petani kepada industri tembakau langsung bukan memberikan jawaban.

Jika perantara dihapus, petani dan industri tembakau berhadapan langsung jelas ini perumpamaan si kuat dan si lemah ataupun si kaya dengan si miskin. Tidak akan terjadi diskusi yang seimbang antara keduanya. Karena itu negara perlu hadir sebagai otoritas untuk menentukan keseimbangan. Regulasi dan kebajikan harus menjadi komoditas yang didominasi masyarakat atau publik agar membawa kemanfaatan yang berpihak untuk kepentingan masyarakat luas.

Namun sejauh ini regulasi yang diterbitkan dinilai membebani petani. Contohnya Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pada tahun 2021, peraturan ini dikabarkan akan direvisi yang tujuannya sebagai landasan dalam pengendalian tembakau yang lebih komprehensif. Revisi yang ingin dicapai adalah penurunan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun dari awalnya 9,1 % menjadi 8,7 %. Peringatan kesehatan bergambar pada bungkus produk tembakau sebesar 40 % juga akan ditingkatkan hingga 90 %. Meskipun dalam tahap akan merevisi, banyak para petani yang mulai menolak. Banyak petani yang resah karena peraturan ini dianggap membuat tembakau tak laku.

Solusi yang diberikan pemerintah agar petani tembakau tidak merasa dirugikan adalah menghimbau agar mereka beralih ke komoditas lain. Namun, hal ini juga dirasa bukan jalan keluar, karena tidak semua wilayah tanam tembakau cocok untuk ditanami komoditas selain tembakau. Terutama pada saat musim kemarau, satu–satunya komoditas yang mungkin ditanam adalah tembakau. Melihat keadaan hari ini, petani tembakau seperti penjudi paling ulung dirasa memang benar. Karena dalam proses penanaman hingga panen, tembakau telah menjadi komoditas yang siap diperjualbelikan namun hasilnya tidak terduga antara untung dan rugi, bahkan ekonomi mereka bukan dalam tahap menambah uang malah menambah utang.

Bicara tembakau juga bicara soal peluang dan keberpihakan. Bicara soal peluang, kualitas tembakau terbaik dunia ada di Indonesia. Jember sendiri tembakaunya diproduksi dan diekspor untuk cerutu berkelas dunia. Sebuah kebanggaan bagi kita. Melihat prestasi ini harusnya petani tembakau hidupnya sudah sejahtera. Namun realitanya tidak, karena pemerintah kurang berpihak pada petani. Soal kenaikan cukai contohnya, cukai naik dan pabrik mengurangi serapan. Tentu yang paling dikorbankan adalah petani. Padahal melihat penerimaan cukai yang diserap dari rokok terbilang besar dan tiap tahunnya semakin meningkat.

Para petani menjadi salah satu tumpuan perekonomian di negara kita, Indonesia. Namun jika pendapatan negara yang diberikan dari tembakau khususnya rokok sudah dianggap tidak perlu, apa mungkin kita akan menghapus tanaman atau komoditas tembakau? Sebuah ketidakmungkinan. Jika memang masih diperlukan, harusnya tembakau kita rawat dan optimalkan. Keberpihakan kita harus terhadap petani, kita bisa memaksimalkan industrinya. Karena pengolahan tembakau juga tidak terbatas pada rokok. Kita bisa melakukan diversifikasi tembakau. Upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam berpihak kepada petani tembakau adalah dengan melakukan sosialisasi atau penyuluhan terhadap petani tembakau. Hal ini nantinya akan memberikan gambaran bagaimana cara yang harus dilakukan petani agar tembakau berkualitas dan harga dipasaran nantinya bisa tinggi. Kegiatan ini juga tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun harus dilakukan dengan konsisten.

Melihat harapan mereka kepada tembakau ibarat golden leaf yang dapat menyejahterakan mereka. Tanpa kita sadari, 1 batang rokok yang kita nikmati ada 1000 petani yang sedang menggantungkan hidupnya. Ada banyak alasan mengapa seseorang bertahan terhadap satu profesi. Petani tembakau bertahan untuk menanam tembakau karena selain alasan ekonomi ada kecintaan tersendiri terhadap tembakau.

Mereka terus ingin melestarikan budaya yang sudah mereka dapatkan secara turun-temurun. Pemakaian tembakau bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi budaya sehari-hari. Keberhasilan usaha pertembakauan adalah tanggung jawab semua pihak pelaku ekonomi. Petani tembakau tidak dapat bekerja sendiri karena itu butuh dukungan dari para stakeholder untuk sama – sama menjadikan tembakau sebagai sektor yang kuat.