Buku ini ditulis oleh D.N. Aidit (1964) dari hasil riset yang dilakukan di beberapa Desa di Jawa Barat yang dilakukan selama 7 minggu, mulai tanggal 2 Februari hingga 23 Maret 1964. Metode riset disini dilakukan dengan metode “3 sama”. Metode 3 sama dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang dirasakan kaum tani sehari-harinya, karena dengan merasakan tersebutlah akan diperoleh hasil-hasil riset yang akurat. Selain itu metode ini bertujuan agar dalam melakukan riset para periset tidak memberatkan beban kaum tani, dan kaum tani tidak merasa berat dengan kehadiran pada periset. Metode “3 sama” tersebut terdiri dari sama bekerja, sama makan, dan sama tidur.
Dari riset tersebut diperoleh pembagian kelas-kelas di desa yaitu kaum penghisap, kaum tani, dan guru-guru desa. Kaum penghisap disini terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, kapitalis birokrat, dan tani kaya. Kaum tani terdiri dari buruh tani, tani miskin, tani sedang. Mereka inilah yang merupakan kaum-kaum yang tertindas oleh setan-setan desa tersebut. Guru-guru desa disini terdiri dari intelektual desa, pandai besi, tukang-tukang kerajinan tangan, pedagang-pedagang kecil, buruh kehutanan, perkebunan, atau industri. Hasil riset menunjukkan terdapat 4 ciri feodalisme yang berat, yaitu monopoli tuan tanah atas tanah, sewa tanah dalam wujud hasil bumi, sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah, hutang-hutang yang mencekik kaum tani.
Taraf hidup kaum buruh tani dan tani miskin pun sangat menyedihkan. Pakaian ganti saja tidak punya, hingga mereka dikatakan seperti wayang yang siang malam pakaiannya itu-itu saja. Makanan juga susah, makan nasi saja sangat sulit, mereka hanya makan nasi pada musim panen, itupun hanya sekali sehari. Sedangkan tuan tanah tetap dengan kehidupan mereka yang mewah, kemewahan mereka diperoleh bukan dari kerja keras mereka, namun hanya dengan menghisap para kaum tani mereka sudah memiliki segala kemewahannya. Dalam musim paceklik kaum tani mencari pekerjaan sambilan, bahkan pekerjaan itu menjadi pekerjaan pokok bagi mereka hingga banyaknya arus urbanisasi, sedangkan belum tentu mereka mendapat pekerjaan di kota. Penyebab kemerosotan taraf hidup pada waktu itu disebabkan struktur ekonomi Indonesia yang kolonial dan setengah feodal, dan ditambah dengan inflasi berat setelah teror ekonomi 26 mei 1963.
Sejak jaman kolonial Belanda dan Jepang susunan pemerintahan di desa belum mengalami perubahan, kepala desa sebagai penguasa tunggal dan pembiayaan dibebankan kepada penduduk desa. Hal tersebut merupakan bentuk penghisapan dari pejabat pemerintah desa yang tidak ada bedanya dengan kepentingan setan-setan desa. Perjuangan revolusioner kaum tani memberantas sisa-sisa feodalisme telah mencapai hasil tertentu, salah satunya jatuhnya kepala desa yang reaksioner dan digantikan kepala desa yang mulai maju yang mulai menguntungkan kaum tani.
Meskipun keadaan politik di desa masih sama, tapi gerakan tani revolusioner sudah menunjukan suatu peningkatan dan kekuatan kaum tani makin bangkit, terorganisasi, dan terpimpin. Melalui gerakan 6 baik, kaum tani mulai memperjuangkan hak-hak mereka mulai dari membela tanah garapannya dari tuan tanah, menurunkan bunga pinjaman yang sangat tidak wajar, dan masih banyak lagi. Mungkin kehadiran kaum komunis di sekitar kaum tani cukup berpengaruh dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani, tapi dibalik semuanya itu semangat kaum tani lah yang memberi pengaruh paling besar.
Kontributor: Ichwan Widiyanata Prayogi