Karya: Eka Julia Nur Azizah

Bunyi padatnya aktivitas kota terdengar bersahut-sahutan silih berganti. Suasana kota begitu padat merayap, hingga membentuk kepulan asap di langit seperti awan mendung. Tak pernah nampak lagi birunya langit cerah dengan awan putihnya yang seperti permen kapas. Seperti itulah suasana kota, dikelilingi gedung-gedung tinggi pencakar langit. Seolah tengah mengukung manusia di bawah kaki dan kuasanya.

Sesosok gadis berjalan mengenakan baju kantornya. Dibalut kemeja rapi dengan rok hitam selutut. Tak lupa dengan sepatu hak tinggi sangat menawan dikenakan pada kedua kaki jenjangnya. Rambut panjangnya hitam sedikit bergelombang. Beralis tebal serta pemilik bulu mata lentik. Manik matanya hitam legam, membuat siapapun yang bertatapan dengannya akan tertegun sesaat.

Ia menghentikan langkah ketika mendengar ponselnya berdering. Merogoh tas kecil di lengannya untuk menjawab panggilan misterius itu. Dahinya sedikit mengkerut ketika melihat nama yang tetera di layar ponselnya. Ia memutar bola mata, lalu mengangkat panggilan itu dengan jengah.

“Ada apa lagi Mbah Uti?,” tanyanya tanpa basa-basi.

Dari seberang sana, terdengar suara rengkih seorang wanita. Nada bicaranya sedikit serak dam bergetar di setiap kata.

“Kamu kapan pulang cah ayu? Mbah Uti ada perlu yang mau diomongin.”

“Putri lagi sibuk Mbah Uti. Nanti saja Putri hubungi lagi,” ucap si gadis dengan cepat. Tanpa menunggu tanggapan dari sang lawan bicara Putri langsung menjauhkan ponsel itu dari telinga nya dan mengakhiri panggilannya sepihak. Ia mendengus singkat, lalu kembali melanjutkan langkah menuju sebuah gedung megah.

Wanita tua itu sempat memanggil-manggil nama sang cucu beberapa kali. Nampaknya karena pendengaran yang lemah membuatnya belum menyadari bahwa panggilan itu telah terputus. Ia pun terdiam begitu menyadari tak ada suara dari ponselnya. Dengan sedikit perasaan sedih, ia menaruh kembali ponsel model jadul itu di atas nakas.

“Dulu kamu tak besarkan nduk sampai bisa jadi dokter seperti sekarang. Ngobati ribuan orang, tapi ngobati Mbah Utinya sendiri saja ndak pernah. Masih ingat dulu kamu sekali nari, sama ngelinting buat di pabrik. Sekarang pulang ke sini saja nggak sama sekali,” ucapnya bermonolog sendiri sembari mengingat masa kecil cucu kesayangannya.

Kenangan itu terekam jelas pada kepala wanita tua itu. Ia kembali mengingat masa-masa bersama sang cucu. Hubungan keduanya masih terjalin sangat erat. Ia begitu berharap sang cucu mampu mewarisi tarian leluhur dan pabrik kretek turun temurun yang sudah menghidupi keluarganya sampai sejauh ini.

“Mbah Uti. Ajari Putri buat nari lahbako sama biasa ngelinting. Putri pengen jadi kayak Mbah Uti bisa gaji-gaji orang.”

Wanita itu tersenyum simpul melihat tingkah cucu kecilnya. Ia mengelus lembut puncak kepalanya lalu menciumnya singkat.

“Iya nduk. Nanti kalau sudah besar kamu jadi kayak Mbah Uti ya. Tapi sekolah dulu yang pinter, sampai ke sekolah tinggi.”

“Ndak mau Mbah Uti. Putri pengen di sini saja. Ikut Mbah Uti nanem bako.”

“Iya nduk. Tapi kalau Putri mau sekolah tinggi kan nanti enak. Ilmu nya bisa dibagi sama orang-orang di sini. Tapi jangan sampai lupa ya nduk. Kamu harus pulang ke sini. Pulang ke rumahmu, nanti leluhurmu marah kalau nggak ada yang jadi penerusnya.”

“Kenapa marah Mbah Uti?”

“Kamu sudah jadi pilihannya nduk buat terus nari dan melanjutkan pabrik.”

Sejak saja itu. Mulai dari Putri kecil hingga beranjak remaja setiap sebelum panen tembakau akan ada ritual sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil tembakau yang memuaskan. Putri sebagai keturunan dan sekaligus pemilik pabrik harus menari tarian lahbako. Sebuah tarian yang melambangkan kegiatan menanam dan mengolah tembakau. Hal itu terjadi terus menerus. Menjadi adat dan tradisi bagi masyarakat setempat.

Hingga sampai pada saat Putri yang harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Putri yang berasal dari kampung terpencil biasa. Terpaksa harus pergi ke luar kota, sehingga ritual tarian tersebut harus dialih tugaskan kepada gadis lain. Namun karena bukan dari keturunan sesungguhnya. Sehingga berdampak pada hasil panen yang tidak maksimal. Bahkan beberapa tahun, hasil panen pun sempat gagal. Menimbulkan dampak kerugian bagi para petani tembakau. Hal itu tidak terlalu dirisaukan oleh para petani tembakau, dan juga Mbah Uti. Sebab mereka semua meyakini, ketika kepulangan Putri nanti akan mengembalikan hasil panen yang maksimal. Sebab Putri memang gadis keturunan yang bisa membawa kemahsyuran lewat tariannya karena restu dari leluhur.

Namun kenyataanya, Putri sama sekali tak ingin kembali. Mbak Uti tak henti-henti untuk membujuknya setiap saat. Kedatangannya benar-benar menjadi harapan besar bagi para petani tembakau. Desakan demi desakan selalu ia berikan pada Mbah Uti agar membawa Putri kembali.

“Gimana Mbah Uti? Apa sudah ada kabar dari Putri?”

Mbah Uti menghembuskan nafas panjang.” Belum ada. Lakukan saja seperti biasa. Tahun depan kalau masih diberi umur mungkin aku bisa menyuruhnya kembali.”

Tetua desa itu mengangguk dengan sedikit kecewa. Ritual panen ini dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada keturunan sah sebagai penari, mereka percaya hal ini akan berdampak pada panen raya tahun berikutnya.

Seluruh warga, dan juga para petani berkumpul di tengah-tengah sawah tempat tembakau tersebut di tanam. Sudah tersedia beberapa alat musik tradisional dan juga sesaji hasil bumi sebagai bentuk penghormatan  dan rasa syukur yang telah alam berikan.

Mbah Uti hanya terdiam, menyaksinan panen raya itu dilakukan. Tak ada hal yang menggembirakan seperti saat Putri masih ada. Semua terasa begitu sakral namun hambar. Tak ada kebahagian dan kepuasan yang melekat di dalam hatinya.

Saat gong akan dipukul sebagai awal mulainya acara. Beberapa pasang mata teralihkan pada sesuatu. Mbah Uti pun sedikit penasaran, ia menyapukan pandangannya dan melihat dari kejauhan sesosok gadis tengah berjalan ke arahnya. Mata tua sedikit mengabur, sampai pada jarak sepuluh meter pun ia masih belum mengenali sosok itu. Sampai siluet dari sosok tersebut menutupi sebagian wajahnya baru ia dapat mengenalinya.

“Nduk Putri. Cah Ayuku.. Kamu Bali nduk..,” ucapnya dengan rasa haru. Ia telah membuka kedua tangan bersiap ingin memeluk gadis berparas cantik itu dengan erat.

Namun Putri masih terdiam berdiri di tempatnya. Seakan enggan untuk berhambur pada pelukan wanita di hadapannya. Hal itu membuat Mbah Uti sedikit kecewa. Padahal ia sudah sangat rindu dan ingin melampiaskannya lewat sebuah pelukan hangat.

“Aku datang ke sini bukan untuk menjadi penari lagi Uti. Aku mau bilang, kalau sebaiknya Uti ganti saja tanaman tembakau ini mulai sekarang. Akan lebih baik, kalau lahan ini untuk menanam tanaman yang baik, bukan tanaman yang berbahaya.”

Bagaikan tersembar petir di tengah teriknya matahari. Mbah Uti terpaku di tempatnya. Ia masih tak percaya bahwa di hadapannya saat ini adalah cucu gadisnya yang telah ia besarkan sedari kecil.

“Apa kau bilang Nduk? Tarik semua kata-katamu itu. Bisa-bisanya kau menyebut tanaman ini tanaman berbahaya hah? Ilmu yang sudah kau dapatkan di sana nduk?..,” jerit Mbah Uti menahan tangis.

“Mbah Uti tidak akan tau meskipun sudah Putri jelaskan. Tapi Putri mau Mbah Uti tidah usah menanam tembakau lagi.”

“Iya nduk iya. Mbah Uti memang bodoh, sekolah SD saja tidak lulus nggak sepinter dan secerdas kamu. Tapi nduk, tembakau ini. Tanaman yang katamu berbahaya ini. Ini yang sudah menjadikanmu seperti sekarang, sudah menghidupimu, mampu membuat tumbuh cantik, dan bisa bernafas sampai sekarang.”

Amarah sudah benar-benar menguasai tubuhnya. Tubuh rentanya tidak sediktpun menyulitkannya. Ia begitu gesit sedikit berlari lalu mencabut tanaman tembakau sekalis dengan akarnya yang masih membawa banyak tanah.

“Lihat ini. Lihat!! Tanaman yang katamu berbahaya bisa menghidupi seluruh orang yang berkumpul di sini. Kau pun jangan lupa. Dari mana tempatmu berasal? Aku benar-benar menyesal telah membesarkan sampai saat ini. Kau sama sekali tidak tau balas budi terhadap tanahmu sendiri nduk.”

“Pergilah kau. Sejauh mungkin. Janga pernah kembali. Selamanya kau akan menjadi musuh kami.”